Gunung Gamalama terletak di Ternate, kota sekaligus pulau yang sudah
terkenal ribuan tahun silam. Ternate adalah gerbang masuknya perdagangan
rempah-rempah sejak zaman romawi kuno, kota ini sudah termasuk dalam
peta perdagangan dunia kala itu.
Bahaya terbesar dari gunung gamalama bukanlah bersumber dari letusan
itu sendiri, namun dari banjir lahar dingin pasca letusan. Lahar dingin
mengancam daerah-daerah pemukiman yang tersebar, terutama di sisi timur
gunung. Pada kesempatan ini kita mencoba menganalisa penyebab,
memprediksi proses terjadinya lahar dingin ini jika terjadi dan beberapa
kemungkinan pencegahannnya.
Kita mulai dulu dari mencatat data Gunung Gamalama. Gunung
stratovulcano ini memiliki ketinggian 1715 meter dengan sembilan craters
, yaitu Arfat, Madiena, K1, K2, K3, K4, Laguna, Tolire Jaha, dan Tolire
Kecil. Gamalama termasuk gunung api paling aktif di Indonesia. Tahun
2012 ini masuk dalam status waspada. Dokumentasi letusan Gamalama sejak
tahun 1510. Meskipun demikian aktifnya, Kota Ternate tetap saja tumbuh
dan berkembang sebagai salahsatu kota besar bersejarah di Nusantara.
Tahun 2002, saya pernah juga mengunjungi Ternate, dan menetap selama
beberapa pekan. Mengelilingi kota Ternate (Raung Gunung Gamalama) dan
mengunjungi Laguna. Beberapa jalur luncuran lava masih terlihat jelas
dari batu vulcanik di daerah Batu Angus.
Tipikal letusan gamalama adalah vulcanian dengan crater yg aktif
sekarang adalah Arfat. Pada 3 Desember 2011, Gamalama mengalami erupsi
dengan plume debu setinggi 2 km. Tiga pekan setelahnya, banjir lahar
dingin menerjang pemukiman penduduk dan menewaskan empat orang. Tahun
2007, awal bulan Agustus, erupsi Gamalama juga tercatat dengan
ketinggian plume debunya mencapai 2,1 km. Bahkan, pada 31 Juli 2003,
erupsi yang mengakibatkan aliran pyroclastic turun ke daerah Togorar di
Timur Laut gunung ini. Dalam sejarah, letusan terbesar Gamalama terjadi
pada 1775 dimana sebanyak 1300 orang tewas pada letusan ini.
Bahaya yang terkandung pada Gamalama pada saat modern ini adalah
potensi banjir lahar dingin. Banjir lahar dingin (mudflow) ini setiap
saat mengancam terutama ketika curah hujan yg tinggi. Pada peristiwa 9
Mei 2012, banjir lahar dingin menerjang sungai Tugurara (Tubo) yg
bermuara di daerah Dufa-DUfa, TUbo, Akehuda dan Salahuddin. Empat orang
tewas dan tiga belas lainnya hilang. Sebanyak 58 rumah rusak sehingga
284 orang mengungsi (WCO-Indonesia Report, 2012).
Pada peta mitigasi bencana Gamalama (Burhanuddin et al., 1996)
terlihat bahwa SUngai Tugurara merupakan salah satu saluran dari lahar
dingin. Sekitar 3,4 juta kubik material lahar dingin yang masih terdapat
di sekitar puncak Gamalama dan akan mengalir lewat Sungai Tugurara dan
Marikuburu. Muslim Saleh (2009) meneliti bahaya banjir lahar dingin.
Meskipun, enam buah check dam sudah dibangun, kapasitas bangunan di
Check Dam 1 dan 2 di hulu SUngai (15 ribu m3) masih dibawah produksi
lahar dingin dengan return period hujan ekstrim 25 thn (42,23 ribu m3).
Selain itu penambangan pasir di sekitar check dam mengancam stabilitas
dan efektifitas bangunan pengendali sedimen ini.
Berdasarkan volcano hazard zoning (Burhanuddin et al., 1996), dapat
dicatat bahwa ada 3 zona bahaya, zona I adalah daerah lembah sungai atau
muara sungai yang berhulu di puncak Gamalama. Daerah ini potensial bagi
aliran lava, awan panas dan lontaran batu ketika terjadi erupsi. Radius
3.5 dari pusat erupsi. Zona II adalah daerah yg berbahaya akan awan
panas, lava dan lahar, serta lontaran batu, terletak di daerah
punggungan, radius 2.5 km dari crater Arfat. Zona III adalah daerah
dekat crater dan sangat berbahaya akan lava, awan panas dan lontaran
batu pijar. Daerah yg terkena lahar dingin pada Mei kemarin adalah
disekitar muara Sungai Tugurara (Tubo), termasuk Zona II.
Mitigasi bencana lahar dingin Gamalama dimulai dari upaya mengadakan
pemetaan daerah Gamalama dan Kota ternate yang berada di bawahnya. Peta
dari remote sensing dan photo udara dapat dijadikan acuan untuk
menentukan daerah material vulkanik yang terdeposit di puncak Gamalama.
Peta watershed juga dibuat dengan skala 1:5000 dengan kontur interval 5
m. Dari peta ini dapat dianalisa daerah asal dari lahar dingin, muara
sungai, infrastruktur dan pemukiman yang terancam. Survey lapangan
dilakukan untuk mendapat detail data dan pengukuran yang dianggap perlu
berbasis peta remote sensing dan peta watershed tadi.
Data volume limpasan lahar dingin dan frekuensi terjadinya dalam
periode waktu juga harus dikumpulkan. Ini salah satu kelemahan kita,
adalah kurang lengkapnya pencatatan peristiwa banjir lahar dingin yg
biasanya terjadi ketika curah hujan tinggi. Namun, kita biasanya hanya
merekam peristiwa lahar dingin ketika menimbulkan korban jiwa atau
kerusakan infrastruktur. Dari data tersebut, pemodelan aliran lahar
dingin dapat dibuat. Berbagai skenario dimana input parameter berupa
curah hujan, volume limpasan, menghasilkan prediksi luasan area yang
terkena limpasan lahar dingin, kecepatan aliran, dan tebal lumpur yang
melimpas.
Dari berbagai peta, data, dan model, risk analysis dapat dibuat.
Potensi bahaya dan akibatnya dapat diprediksi. Lalu, alternatif
antisipasinya bisa direncanakan. Ada dua strategi mitigasi yang bisa
dibuat untuk mengurangi dampat merusak dari lahar dingin Gamalama.
Pertama, upaya mengurangi kejadian dari banjir lahar dingin dan kedua
adalah mengurangi dampak merusak jikalau banjir lahar dingin terjadi.
Olehnya itu, beberapa langkah sebaiknya dilakukan berupa: tata ruang
yang tepat dengan mengindahkan zonasi bahaya Gamalama yg sudah ada,
pembangunan sistem peringatan dini akan lahar dingin, pengaturan
pengelolaan daerah aliran sungai, dan pembangunan struktur pengatur
limpasan lahar dingin.
Sistem zonasi sudah ada, dan kalau perlu dikaji ulang berdasarkan
data terbaru. Daerah yang boleh dan terlarang untuk didiami haruslah
dikuatkan secara hukum. Sistem peringatan dini terdiri dari sistem
peringatan pra bencana dimana sistem harus bisa mendeteksi deformasi
dari material vulkanik yang mengarah ke instabilitas. Kemudian sistem
peringatan pada saat bencana, ketika aliran lahar dingin benar-benar
terjadi. Dan terakhir sistem peringatan pasca bencana, misalnya adanya
peringatan ketika ada jembatan yg rubuh terkena limpasan lahar dingin.
Sistem ini harus dibangun oleh mereka yang berkompeten dan ahli, serta
sistem ini harus dijamin utk tidak mengalami kerusakan .
Mengenai struktur pengendali lahar dingin, ada beberapa struktur yang
dimungkinkan untuk dibangun, diantaranya: debris basin, debris barrier,
deflection berm, dan channeling. Debris basin untuk membendung dan
mengendapkan lahar dingin, sedangkan debris barrier untuk membendung
material lahar yang besar seperti bongkahan batu, sedangkan material
lahar yang halus dialirkan. Deflection berm merupakan saluran untuk
mengalihkan limpasan lahar dingin dari sebelumnya mengancam
infrastruktur/struktur ke areal lain yang disiapkan sebagai penampung.
Sedangkan channeling dibuat untuk mengalirakn lahar dingin untuk tidak
keluar mengenai areal yang dilindungi.
Berikut gambar struktur pengendali banjir lahar dingin (sumber:jsce).
Sejarah Letusan Gunung Gamalama Dari Tahun ke Tahun
Sejarah letusan yang tercatat mulai tahun 1538 hingga tahun 2003. Tahun letusan dan interval setiap letusan Gunung Gamalama adalah sebagai berikut :
Sejarah letusan yang tercatat mulai tahun 1538 hingga tahun 2003. Tahun letusan dan interval setiap letusan Gunung Gamalama adalah sebagai berikut :
|
sumber :
https://daenggassing.wordpress.com/2012/06/19/mitigasi-bencana-lahar-dingin-gamalama/
http://www.vsi.esdm.go.id/index.php/gunungapi/data-dasar-gunungapi/500-piek-van-ternate?start=1